Di lautan hiu
termasuk salah satu predator bengis. Sudah tak terhitung manusia menjadi
makanan hewan bergigi tajam ini. Sebaliknya di Depok, Bogor, tepatnya di Dizza Resto, ia harus menyerahkan nasibnya menjadi santapan ekstra lezat bagi para
penyuka seafood.. Tersaji mulai daalam menu sate sampai sup hiu.
Sate hiu menjadi salah satu menu andalan |
Hartanto mengaku, selain hiu yang membedakan seafood buatannya dengan seafood
pesaing adalah bumbunya.
“Jika seafood pada umumnya hanya dibumbui saus padang dan sejenisnya, di
sini kami menyediakan banyak jenis bumbu, seperi bumbu kacang, bumbu kecap,
lada hitam, saus tiram, asam manis, dan bumbu rujak,” jelas pria paruh baya
ini. Dengan bumbu meresap di dagingnya dan
sambel pedas, hewan pemangsa itu terasa
nikmat.
Ide kreasi daging ikan hiu dalam daftar menunya, didapat
secara tidak sengaja. Ketika berbelanja
ikan di pasar, ia melihat banyak pedagang yang berjualan hiu. Namun, kebanyakan orang-orang memasak
sirip hiu. Ia ingin sesuatu yang berbeda. “Jujur saja, harga sirip hiu jauh
lebih mahal. Jadi saya pakai dagingnya saja. Lagipula menu dengan bahan dasar
ini belum ada di Depok,” kata alumni jurusan Ekonomi UNDIP ini.
Tak disangka,
permintaan sate hiu semakin meningkat. Kelembutan daging ikan hiu digemari banyak
pelanggan. Harganya pun terjangkau
antara Rp 15.000 hingga Rp 22.500. Dalam sehari, Hartanto bisa menghabiskan 5-6 kg daging. Setelah
diolah, 1 kg daging hiu bisa menghasilkan 20 porsi.
Menjelang malam, Dizza Resto selalu ramai dikunjungi pelanggan. “Karena ini
menu seafood, jadi mulai ramai pelanggan ya sekitar jam makan malam dan
juga weekend,” ujarnya. Untuk dessert, es krim goreng menjadi menu
andalan. Es krim vanila yang dibalut roti tawar, kemudian digoreng dalam minyak
panas, menjadi menu yang paling banyak dipesan.
Dengan karyawan
…. orang, Hartono mampu meraup omzetnya rata-rata Rp 45.000.000 per ?
Sempat
tergusur
Sebelum mendirikan resto ini, Hartanto pernah membuka usaha kantin di Gedung Kompas Gramedia, Palmerah. Namun, karena omsetnya tidak sesuai
target, ia ingin mencoba peruntungan berjualan
di pinggir jalan. Usahanya diawali tahun 2008, denganmembuka resto seafood bilangan Margonda, Depok. Modal
awal yang pertama kali dikeluarkan sekitar Rp 400–500 juta. “Dulu kami ingin
membuka tempat makan dengan uasana dan desain yang enak untuk bersantai. Jadi untuk membuat interiornya saja membutuhkan
biaya yang tidak sedikit,” kenang Hartanto. Letaknya cukup strategis karena di pinggir Jalan Raya
Margonda, dekat dengan kampus Universitas Indonesia, membawa keberuntungan
untuk usaha barunya. Nama Dizza Resto yang diambil dari nama kedua anaknya,
Dito dan Tasya, cukup dikenal di kalangan mahasiswa.
Sayang, tempat usahanya terpaksa pindah karena
lahan yang ia sewa akan dijadikan pompa bensin oleh pemiliknya. Ia pun berusaha keras mencari tempat baru untuk
berjualan. Keputusan jatuh pada sebuah lahan yang terletak di pinggir Jalan
Raya Lenteng Agung, tepat di sebelah kedai roti bakar terkenal. “Mungkin ada
untungnya juga mendapat tempat di sini, kerena sederetan ini kan usahanya
kuliner semua,” katanya.
Sejak pindah ke sini, ia lebih mengutamakan rasa. Ia sadar, menu yang bercita
rasa tinggi, lebih mudah menarik pelanggan.
Selama ini kendala yangdihadapi Hartanto selain bahan baku, terkadang juga karyawan. Oleh sebab itu, ia selalu
me-manage karyawan dengan baik. “Kami sering mengalami, jika ada karyawan
yang punya masalah atau menikah, mereka langsung keluar. Saya selalu
mengajarkan kepada mereka kalau tempat ini adalah sekolah bagi mereka. Jika
mereka sudah mahir dan ingin membuka usaha sendiri, silahkan saya sangat
mendukung. Hanya saja, pamitnya jauh-jauh hari, jangan dadakan agar saya bisa
mencari penggantinya,” keluhnya.
No comments:
Post a Comment